MAKALAH
PENELITIAN
Tugas mata kuliah Pengantar
Antropologi
Yang dibina oleh Ibu Siti Zurinani,
M.A.
Oleh
Susi Mardiyanti
125110800111021
PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI
BUDAYA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Januari 2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sejak
dulu kala dalam sejarah kebudayaan manusia ada gerak migrasi, gerak perpindahan
dari suku-suku bangsa dimuka bumi[1]. Dari gerak migrasi inilah
akar terjadinya pertemuan-pertemuan antar kebudayaan yang berbeda. Yang menyebabkan
timbulnya akulturasi dan asimilasi.
Dari banyak daerah yang ada di
Indonesia ada beberapa daerah yang mempunyai adat bermigrasi atau merantau,
diantaranya minangkabau dan madura. Bila di daerah minang budaya merantau
diperuntukkan untuk para pemuda, lain halnya dengan daerah Madura yang semua
lapisan masyarakatnya berpotensi untuk merantau karena dari segi ekologi
dinilai tidak dapat mendukung untuk memenuhi hajat hidup, teori environmental
possibilism.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
memang suku Madura tersebar di belahan Indonesia manapun. Tidak terkecuali desa
pelosok atau pedalaman. Sehingga, sampailah suku Madura di desa gampingan kecamatan
pagak kab. Malang Selatan. Suku Madura tersebut membangun sebuah kelompok
ditengah suku asli disana, suku Jawa. Pertemuan dua budaya yang berbeda, yang
akhirnya membentuk akulturasi budaya.
Perbandingan antara suku Jawa dan
Madura adalah 1:4. Jadi, bisa dibayangkan bahwa yang mendominasi desa pagak
adalah suku Madura. Suku Jawa menjadi suku minoritas. Perkawinan campuran tidak
bisa dihindarkan, sehingga munculnya istilah pendhalungan sebagai bentuk keturunan yang dilahirkan dari
percampuran etnis Jawa-Madura. Makalah ini akan mencoba mengungkap konsepsi
tersebut yang bersumber dari informan, dan adakah kekhususan dalam sistem
kekerabatannya. Analisis data akan
terurai secara ringkas dari data yang telah diperoleh melalui terjun lapangan
singkat yang telah terselenggara pada saat inisiasi.
Di Indonesia terkenal dengan
kepluralismeannya. Pluralisme masyarakat dan tentu budayanya. Itu yang sudah
terjadi di desa pagak. Karena didiami dua suku yang berbeda dengan budaya yang
sudah pasti berbeda pula.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
konsepsi pendhalungan pada masyarakat Jawa–Madura di dusun Dempok-Gampingan desa
Gampingan, kecamatan Pagak, Malang Selatan?
C.
Kerangka Pemikiran
1.
Sistem
kekerabatan Budaya Jawa
Menurut
Kodiran dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1990: 337) Sistem
kekerabatan orang jawa itu berdasarkan prinsip keturunan bilateral. The basic form of Javanese Terminological system is
bilateral and generational (Geertz, 1961: 15). Jadi, untuk menarik garis
keturunan, bisa melalui pihak perempuan maupun laki-laki. Namun dalam
perkembangannya orang jawa tidak melulu menyebut kekerabatan mereka dari dua
jalur ayah dan ibu. Seperti yang dinyatakan Muchlis Emenve dalam blonya[2]: Suku Jawa menganut garis
keturunan ayah atau disebut Patrilini/
Patriakhat. Hal ini terlihat dari pemakain nama belakang seseorang sering
memakai nama ayah, anak laki-laki juga menjadi kebanggaan keluaraga dan
mendapatkan perhatian khusus dibanding anak perempuan karena diyakini seorang
laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, dalam hal warispun dikenal anak lanang sa pikul anak wadon sak
gendongan, anak laki-laki lebih banyak bagiannya dalam pembagian warisan
dari pada anak perempuan. Dikenal pula istilah lajer yaitu garis keturunan
keluarga laki-laki saja.
Silsilah
keturunan jawa: 1. Anak; 2. Putu; 3. Buyut; 4. Canggah; 5. Wareng; 6. Udheg-
udheg; 7. Gantung siwur; 8. Gropak senthe; 9. Kandhang bubrah; 10. Debog bosok;
11. Galih asem. Dalam 7 turunan tersebut masih sapat disebut keluaraga dekat dan keturuanan 8 dan seterusnya
merupakan keluarga jauh.
2.
Sistem
kekerabatan Budaya Madura
Suku
Madura dalam letak geografisnya masih termasuk kedalam pulau Jawa. Dengan
demikian sistem kekerabatannya tidak akan jauh berbeda dengan sistem
kekerabatan yang ada di suku Jawa. Seperti yang ada di buku Tata Krama Suku Bangsa Madura, menyebutkan
bahwa suku Madura mengenal sistem kekerabatan yang di hitung melalui garis
keturunan laki-laki maupum perempuan, yang disebut bilateral[3].
Kekerabatan bilateral, menghubungkan
seseorang dengan lain-lain saudara dekat melalui laki-laki dan perempuan, orang
menulusuri keturunannya melalui kedua orang tuanya sekaligusdan mengakui adanya
banyak leluhur, Havilland (1993: 118).
Namun,
dalam perkembangannya yang lebih mendominasi adalah pihak laki-laki, ayah. Ikatan
kekerabatan orang Madura mencakup sampai empat generasi ke atas (ascending
generations) dan ke bawah (descending generations) dari ego yaitu: 1. Garubuk;
2. Juju’/enju’; 3. Kae/Emba; 4. Eppa/Emma; 5. Ego/ana’; 6. Kompoy; 7. Peyo’; 8.
Kareppek[4].
Dalam
sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau
kerabat (kinsmen), yaitu:
1.
Taretan Dalem (kerabat inti atau core kin),
2.
Taretan Semma’ (kerabat dekat atau close kin), dan
3.
Taretan Jau (kerabat jauh atau peripheral kin).
Di
luar ketiga kategori ini disebut sebagai oreng lowar (orang luar) atau
"bukan saudara". Dalam kenyataannya, meskipun seseorang sudah
dianggap sebagai oreng lowar tetapi bisa jadi hubungan persaudaraannya lebih
akrab daripada kerabat inti, misalnya karena adanya ikatan perkawinan atau kin
group endogami.
3.
Suku
Madura
Suku
Madura merupakan etnis dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20
juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya[5]. Suku Madura terkenal
sebagai suku perantau, fakta ini dibuktikan dengan tersebarnya orang Madura di
banyak tempat di Indonesia.
Menurut
hasil sensus penduduk tahun 2000 nampak jelas bahwa orang Madura tersebar di 30
provinsi yang ada di Indonesia. Konsentrasi terbesar ada di wilayah Jawa Timur
6.281.058 jiwa, disusul Kalimantan Barat (203.612), Kalimantan Tengah (62.228),
Kalimantan Timur (30.181), dan Kalimantan Selatan (36.334). Konsentrasi
terkecil ada di wilayah provinsi Gorontalo (48). Sebaran penduduk etnis Madura
pada tahun 2000 baik yang ada di pulau Madura, di provinsi Jawa Timur dan di
wilayah Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut[6].
Tabel Jumlah Penduduk Madura 1930-2000
Kabupaten
|
1930
|
1961
|
1990
|
2000
|
Bangkalan
|
-
|
574.348
|
750.780
|
805.048
|
Sampang
|
-
|
484.886
|
703.138
|
750.046
|
Pamekasan
|
-
|
396.413
|
628.308
|
689.225
|
Sumenep
|
-
|
694.547
|
933.746
|
985.981
|
Total
|
-
|
2.150.194
|
4.015.972
|
3.230.300
|
Etnis Madura di Jawa Timur
|
-
|
-
|
-
|
6.281.058
|
Etnis Madura seluruh Indonesia
|
4,3 juta
|
-
|
-
|
6.771.727
|
Sumber:
1). Data Penduduk Per Kabupaten diakses dari
website http://jatim.bps.go.id/ pada tgl. 02 Agustus 2004. (Data diolah
kembali).
2). Suryadinata et.al. Penduduk Indonesia Etnis dan
Agama Dalam Era Perubahan Politk. Jakarta: LP3ES. 2003.).
Harga
diri, sangat penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah
peribahasa lebbi bagus pote tollang,
atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu
(putih mata). Sifat yang seperti ini melahirkan tradisi carok pada masyarakat
Madura. Masayarakat luar Madura mengenal orang Madura bersifat tempramental.
Anggapan ini ada benarnya tapi tempramental disini tidak semuanya masih ada
sesuai aturan. Dibalik sifat tempramental yang dikenal orang, orang Madura
punya sifat yang hebat seperti hemat, pantang menyerah, gigih dalam berusaha.
Hal ini banyak terlihat dari persebaran orang Madura yang hampir mendunia dan
rata- rata mereka sukses di rantau. Kebiasaan orang Madura memang bukan
mengutamakan makan mereka bisa makan dengan sangat sederhana asalkan bisa
menabung untuk naik haji dan membeli rumah untuk ditinggalkan ke anak cucunya
kelak[7].
4.
Suku
Jawa
Suku
Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis
Jawa. Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung,
Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara[8]. Menurut Ismani (1979:
357), orang Jawa dikatakan sopa, mudah mengalah tetapi sulit dipercaya.
Clifford
Geertz, (1960) membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum santri,
abangan dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang
taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen,
sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan. Tetapi dewasa ini pendapat Geertz
banyak ditentang karena ia mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan.
Kategorisasi sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang
luar, misalkan orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi seperti
orang keturunan Arab, Tionghoa, dan India.
5.
Akulturasi
Akulturasi
adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing.
Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri[9].
Menurut
Koentjaraningrat (revisi 2009: 202), akulturasi merupakan suatu proses social
yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa,
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu
sendiri.
Dengan
demikian, dapat ditarik benang merah bahwa akulturasi terjadi karena dua budaya
atau lebih yang berbeda bertemu dalam satu tempat, dengan open minded budaya itu akan merasuk kedalam budaya asli tanpa
merubah budaya aslinya.
Dalam
perkembangannya, akulturasi bisa menjadi peristiwa yang disengaja dengan
berkembangnya orang-orang yang menjadi agent
of acculturation. Sehingga dapat diketahui unsur-unsur kebudayaan macam apa
yang masuk[10].
6.
Perkawinan
Campuran
Menurut
Hilman Hadikusuma (1977: 96), perkawinan campuran adalah perkawinan yang
terjadi antara pria dan wanita yang berbeda hukum adatnya yang dapat berakibat
memperoleh atau kehilangan kewargaan adat yang bersangkutan.
7.
Amalgamasi
Amalgamasi
adalah istilah kuno sekarang sebagian besar untuk perkawinan dan antar
pembiakan dari etnik yang berbeda atau ras. Di dunia berbahasa Inggris, istilah
ini digunakan dalam abad kedua puluh.[11] Dalam perjalanannya
amalgamasi adalah perkawinan antar dua etnis yang berbeda, sehingga ada sebutan
khusus untuk keturunannya. Namun, hal tersebut bukanlah sebuah dasar sehingga tidak
diharus ada penyebutan khusus untuk hasil keturunan perkawinan mereka.
Yang
berkaitan adalah proses pembudayaan budaya lain terhadap budaya sendiri, sehingga
proses tersebut menyebabkan budaya baru lahir tanpa menghapus budaya asli
mereka.
D.
Metode Penelitian
Penelitian yang kami lakukan adalah
penelitian singkat dengan waktu tidak sampai 1 hari, hanya sekitar 4 jam mulai
pukul 10.00 – 14.00 pada hari sabtu tanggal 8 Desember 2012 pada acara inisiasi.
Dengan pembagian kelompok masing-masing 15 orang, dan peneliti termasuk kedalam
kelompok organisasi sosial.
Metode yang kami gunakan bukan
wawancara mendalam, namun wawancara kepada informan kunci seperti perangkat
desa, sesepuh desa dan warga setempat, serta pengamatan terhadap pola tingkah
laku masyarakat.
Sebagaimana yang diungkapkan Harsja W.
Bachtiar (1973: 109) bahwa pengamatan merupakan metode yang pertama-tama
digunakan dalam melakukan penelitian ilmiah. Berbeda dengan pengamatan
sebagaimana dilakukan dalam pergaulan sehari-hari, pengamatan sebagai ciri
penelitian menuntut dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang merupakan jaminan
bahwa hasil pengamatan memang sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran
perhatian[12].
Dari gejala yang tampak ter wujud, maupun fakta yang menggambarkan tidak
berarti banyak, bilamana tidak ditafsirkan artinya. Tafsirannya tergantung pada
kerangka pemikiran yang berakar pada pola-pola kebudayaan yang menjadi akal
pemikiran peneliti.
Data yang akan peneliti sajikan mungkin berupa
data yang ada dipermukaan. Karena terbatasnya ruang dalam dimensi waktu yang
minim sekali, sehingga tidak terjadi wawancara intensif kepada informan. Dari
data-data yang terkumpul peneliti berusaha sehingga dapat merangkainya menjadi
mozaik sederhana yang indah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Selayang
Pandang Desa Gampingan
Desa
Gampingan adalah salah satu dari beberapa desa yang ada di kecamatan Pagak,
kabupaten Malang Selatan. Desa ini berada tepat di bawah kawasan wisata Lembah
Kerah yang di kenal sebagai bumi perkemahan dan tempat panjat tebing bagi para wisata
touring. Desa ini terdiri dari tiga dusun, yaitu dusun Gampingan di RW 01,
dusun Dempok di RW 02, dan dusun Bumi rejo di RW 03.
Desa
ini bukan termasuk pemukiman pelosok, karena terlihat dari arsitek bangunannya
yang sudah menggunakan batu-bata dengan pondasi rumah yang cukup tinggi dari
jalan, disertai warna tembok yang mencolok. Keramik dengan berbagai ormanen
juga turut memeriahkan tembok-tembok rumah warga.
Desa
ini mempunyai fasilitas umum seperti tempat mandi umum berupa kolam, yang
digunakan oleh warga setempat untuk mandi dan mencuci dan WC umum yang cukup
unik karena airnya yang langsung diambil dari parit kecil dengan menggunakan
gelas aqua kecil, yang notabene airnya langsung dari sumber. Namun, hal
tersebut bukanlah hal yang lumrah untuk masyarakat pada umumnya. Sebagai
pendatang rasa menghargai adalah yang terdepan, bukan mencela atau
membandingkan. Suatu keunikan bukan hal yang mudah untuk didapatkan.
Menurut
cerita sesepuh orang-orang yang tinggal di desa ini, dahulu yang pertama kali
menempati desa ini adalah suku Madura istilah ini dikenal dengan mbabat alas. Jadi lumrah saja bila
jumlah suku Madura lebih banyak dari pada suku Jawa.
B. Perbandingan
Jawa-Madura di dusun Dempok
Dengan
keterbatasan data yang kami peroleh, sehingga yang dapat menjelaskan bagaimana
perbandingan Jawa-Madura hanya ada di dusun Dempok.
Menurut penuturan seorang perangkat desa
Gampingan Bapak Rofi’i Ikhwayadi bahwa penduduk di dusun Dempok didominasi suku
Madura dengan prosentase 80% untuk suku Madura dan 20% untuk suku Jawa. Pernyataan
tersebut kurang di sertai data kongkret.
Namun,
menilik informasi yang disampaikan oleh Bapak H. Sunawan yaitu seorang
Kamitullah di desa Gampingan, sehingga pernyataan diatas tidak dapat dibantah.
“Di dusun
Dempok terdiri dari 8 RT, mulai dari RT 11 sampai RT 18. Di RT 11 sampai RT 12
didominasi warga Madura, bila di RT 13 sampai RT 14 warganya campur antara
keturunan Jawa dan Madura, sedangkan di RT 15 sampai RT 18 kebanyakan warga
Madura”.
Dari data
tersebut dapat dihitung bahwa ada 6 RT yang warganya orang Madura, sedangkan 2
RT sisanya adalah perkampungan orang Jawa-Madura. Namun tidak menutup
kemungkinan bahwa 6 RT yang penduduknya dikatakan warga Madura mempunyai
saudara keturunan Jawa.
Dusun dempok
ini terdiri dari 482 kepala keluarga yang setiap RT nya di huni sekitar 70
kepala keluarga. Namun jumlah keseluruhan warga dusun dempok dilihat dari data
E-KTP adalah 1.286 orang tanpa ada pemisahan jumlah laki-laki dan perempuan.
Dari
observasi pengamatan yang saya lakukan, memang di dusun Dempok ini banyak rumah
yang cukup megah dengan warna yang menandakan adalah rumah orang Madura karena mereka identik
dengan pemilihan warna yang mencolok dan juga tabrak warna.
Penuturan
seorang warga yang bernama Martiyah umur 60 th yang bekerja sebagai
petani menyebutkan bahwa dusun ini terbagi menjadi dua bagian dengan sebuah
pembatas sungai. Sebelah barat kali adalah suku Madura sedangkan yang disebelah
timur kali didiami oleh suku Jawa. Para sesepuh etnis Madura sudah tidak ada,
sehingga yang ada hanya keturunannya, para cucu dan seterusnya.
“Dusun ini
terbagi menjadi 2 area, kulon kali dan wetan kali. Kulon kali ditempati Madura,
wetan kali ditempati orang jawa. Namun sesepuh Madura sudah tidak ada, sekarang
tinggal keturunannya”.
Sama halnya
yang diungkapkan oleh ibu Supartini 32 th serang ibu rumah tangga, desa ini
terbagi dua blog, daerah barat kali dan timur kali.
Dengan demikian di dusun ini dimungkinkan
masih ada wilayah kelompok keluarga batih orang Madura, dengan istilah pamengkang (tiga keluarga batih dalam
satu perumahan), taneyan lanjang (lima
keluarga batih), koren (empat
keluarga batih) dan kampong meji
(lebih dari lima keluarga batih)[13] dilihat dari bebepara RT
yang didominasi orang Madura. Fenomena ini tampak nyata karena ada pengikat
dari anggota keluarga luas ini yantu langgar
yang ada disalah satu halaman rumah warga. Sehingga, kebudayaan Madura di
tempat ini bisa terlestarikan sampai sekarang.
Namun dalam
kehidupan keseharian perbedaan etnik ini sudah tidak menjadi pembeda, mereka
sudah menjadi bagian dari suatu ekosistem dusun Dempok-Gampingan. Untuk
pemakaian bahasa sehari-hari, warga Dempok-Gampingan tidak ada aturan khusus
untuk memakai bahasa apa, yang ada adalah penyesuaian terhadap lawan bicara.
Umumnya orang Madura mengerti yang dikatakan orang jawa dan sebaliknya, namun
jarang pemakaian bahasa yang halus.
C. Konsepsi
Pendhalungan pada masyarakat dusun Dempok-Gampingan
Masyarakat
yang ada diperkampungan ini cukup terbuka dengan perbedaan etnis. Tidak ada
konflik besar diantara mereka, memang dahulu pernah namun sekarang potensi
konflik sudah amat kecil. Ibu Marni umur 55 th seorang petani bertutur dalam
bahasa jawa yang di bahasa indonesiakan,
“perbedaan
etnis tidak penjadikan perpecahan, hampir tidak ada konflik. Semua warga
membaur. Wujud kerukunan itu adalah selametan setiap jum’at legi dikuburan
keramat, upacara minta hujan dan untuk minta izin hajatan”.
Dengan
jangka waktu yang lama, percampuran kedua budaya itu semakin intim dengan adanya
perkawinan yang menyatukan dua etnik yang tersebut, Jawa-Madura. Adat
perkawinan yang diselenggarakan pada umumnya menggunakan adat Jawa, namun tidak
terlepas dari sentuhan budaya Madura, yaitu iringan kesenian sakera. Perkawinan
dua etnik yang melahirkan keturunan baru, dalam perkembangannya istilah ini
disebut pendhalungan. Dalam arti
keturunan, pendhalungan ini adalah orang yang dilahirkan dari keturunan
Jawa-Madura, bapak Madura ibu Jawa atau sebaliknya. Salah satu penuturan warga
keturunan Jawa-Madura, ibu Ani 20 th seorang ibu rumah tangga,
“saya ini
mbak disebut orang Jawa bisa disebut orang Madura juga bisa, karena saya lahir
dari ibu orang Jawa dan bapak saya orang Madura ”.
Dari
informan lain juga menyebutkan demikian, namun hal tersebut diperjelas, Bapak Martono
84 th, seorang sesepuh Dusun Gampingan, beliau keturunan dari bapak Madura dan ibu jawa.
“pendhalungan
bukanlah suatu sistem kekerabatan suku Jawa-Madura, namun itu hanya sebuah
sebutan/istilah bagi anak yang lahir dari keluarga yang berbeda Jawa-Madura ”.
Menurut
beliau, tidak ada kekhususan untuk sistem kekerabatan pendhalungan. Untuk
penyebutan anggota keluarga dari kedua keluarga juga tergantung pada keluarga
tersebut, dan keturunan selanjutnya sudah mulai kabur tanpa ada kejelasan.
Mungkin menurut mereka itu bukan suatu masalah bagi mereka.
Hal
yang sama diungkapkan oleh Bapak Kaspin, seseorang sesepuh Dusun Gampingan,
yang merupakan kerabat dekat pak Martono, beliau adalah sepupunya. Namun beliau
ini bukan seoarang pendhalungan, beliau keturunan asli Jawa.
Berbeda dengan informasi yang sebelumnya
diungkapkan bahwa pendhalungan hanya
sebuah istilah. Pendhalungan bukan hanya dalam lingkup keturunan Jawa-Madura
saja, karena hubungan antar dua etnik ini tidak hanya terjadi didunia
perkawinan saja, dalam kehidupan sehari-hari mereka berpadu dalam satu
dimensional waktu. Ibu Marni 55 th seorang petani menuturkan,
“Pendhalungan
adalah sebutan untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan Jawa-Madura,
seperti gotong royong antar warga Jawa-Madura juga bisa disebut pendhalungan ”.
Memang
dalam praktiknya, masyarakat awam seringkali mengatakan bahwa ketika orang Jawa
bercampur dan berinteraksi dengan orang Madura maka lahirlah Pendhalungan[14]. Beberapa pakar
sepertinya banyak yang menggunakan pemaknaan seperti itu. Harry Yuswadi (2005) memberikan
definisi sederhana tentang Pendhalungan sebagai (1) sebuah percampuran antara
budaya Jawa dan Madura dan (b) masyarakat Madura yang lahir di wilayah Jawa dan
beradaptasi dengan budaya Jawa.'
Memang
ketika membicarakan Pendhalungan, citra yang lebih banyak muncul adalah
perpaduan antara dua tradisi besar, Jawa dan Madura. Pendapat tersebut tentu
tidak lepas dari fakta bahwa kedua etnis tersebut merupakan warga mayoritas di
wilayah ini.
Pendhalungan
bukanlah termasuk suatu sistem kekerabatan yang khusus untuk keturunan
Jawa-Madura. Untuk sebutan sistem kekerabatan Jawa-Madura, sampai saat ini
tidak ada yang bisa dijadikan standart. Mungkin hanya penyebutan untuk anggota
keluarga mereka yang menurut kesepakatan bersama, bila keluarga ayah dari
keluarga Madura dapat dipastikan sebutan-sebutan untuk memanggil saudara yang
lain dari garis ayah memakai dalam bahasa Madura, dan juga bisa sebaliknya.
Seperti
yang dialami oleh ibu Lutfia 69 th seorang kepala sekolah RA, beliau orang jawa
yang menikah dengan orang Madura, untuk sebutan-sebutan saudaranya keluarga
beliau memakai bahasa Madura, seperti paman dipanggil guthek, pakde dipanggil mbah,
bungsu dipanggil bungso, dan
seterusnya.
Fenomena
pendhalungan ini termasuk dalam amalgamasi, karena sifat budaya pendhalungan ini
lahir dari dua etnis yang berbeda, sesuai dengan pengertian amalgamasi, yaitu
suatu kebudayaan yang lahir karena perkaawinan campuran dari dua etnis yang
berbeda. Bila dahulu tidak ada pertemuan antar etnik Jawa-Madura, sampai saat
ini tidak mungkin ada istilah pendhalungan.
Dengan
demikian ada dua hal yang dapat diambil dari arti pendhalungan, karena kita tidak bisa menghakimi salah satu dari
informasi yang kita anggap salah. Informan masing-masing mempunyai pendapat
sendiri yang didapat dari pengetahuan dan pengalamannya. Pendhalungan dalam arti sempit adalah istilah untuk hasil
keturunan Jawa-Madura. Sedangka dalam arti luasnya pendhalungan adalah pertemuan dua budaya Jawa-Madura dalam segala
aspek kehidupan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masyarakat dusun Dempok-Gampingan desa
Gampingan, Malang selatan adalah masyarakat terdiri dari dua etnik yang
berbeda: Jawa dan Madura. Yang lebih dominan adalah suku Madura daripada suku
Jawa, namun untuk menjumpai sesepuh dari etnik Madura sudah jarang sekali, yang
ada hanya keturunan mereka. Mereka berbaur dalam satu tempat. Wujud kerukunan
mereka adalah selamatan setiap malam jum’at legi di makam keramat untuk
menghormati dan mendoakan roh-roh leluhur.
Pertemuan dua etnis ini memunculkan
akulturasi budaya, budaya jawa berkembang pada masyarakat Madura dan budaya
Madura berkembang pada masyarakat Jawa,
misalnya acara perkawinan, umumnya warga Dempok memakai adat perkawinan Jawa,
namun tidak terlepas dari budaya Madura, yaitu iringan kesenian Sakera mewarnai
adat upacara perkawinan suku ini, selain itu juga amalgamasi, karena ada budaya
yang dilahirkan perkawinan campuran Jawa-Madura. Untuk menyebut budaya yang
lahir dari perkkawinan campuran tersebut ada suatu sebutan: pendhalungan. Namun, ada 2 hal
pengartian yang berbeda yaitu secara luas dan sempit. Pendhalungan dalam arti luas adalah
segala hal bentuk hubungan yang terjadi antara budaya Jawa-Madura. Sedangkan
dalam arti sempitnya pendhalungan adalah
istilah untuk hasil keturunan budaya Jawa-Madura.
Bila hipotesa awal kami
mengasumsikan bahwa terdapat kekhususan pada sistem kekerabatan karena lahirnya
budaya pendhalungan, ternyata hal tersebut bukanlah suatu keunikan yang luar
biasa, karena pendhalungan hanya
sebuah istilah semata. Dalam hal penyebutan anggota kekuarga juga tidak ada kekhususan
yang ada hanya menyesuaikannya dengan keluarga mereka, mereka sama sekali tidak
mempermasalahkannya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Bachtiar,
Harsja W. 1973. Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian. Dalam
Koentjaraningrat (Red), Metode-Metode
Penelitian Masyarakat (hlm. 108-128). Jakarta: PT Gramedia
Depatemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Tata
Krama Suku Bangsa Madura. Yogyakarta: Depdikbud.
Geertz,
Clifford.1960. The religion of Java.
Glencoe : The Free press of Glencoe.
Geertz,
Hildred. 1961. The Javanese Khinship: A
study of Kinship and Socialization. New York. Crowell-Collier Publishing
Company.
Hadikusuma,
Hilman. 1977. Hukum Perkawinan Adat. Tanjungkarang:
PT Citra Aditya Bakti.
Havilland,
W. A. 1985. Antropologi Jilid 2.
Terjemahan oleh R. G. Sukadijo. 1993. Jakarta: Erlangga.
Ismani.
1979. Aspek-aspek kehidupan Orang Madura di kota-kota perantauan. Dalam
Depdikbud, Madura III: Kumpulan
makalah-makalah seminar 1979. Malang: Depdikbud.
Kodiran.
1990. Kebudayaan Jawa. Dalam Koentjaraningrat (Red), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (hlm. 329-352). Jakarta:
Djambatan.
Koentjaraningrat.
2009. Pengantar Ilmu Antropplogi.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Wiyata,
A. Latief. 2002. Carok: Konflik kekerasan
dan Harga diri Orang Madura. Yogyakarta: Lkis.
Yuswadi,
Harry. 2005. Melawan Demi Kesejahteraan,
Perlawanan Petani Jeruk terhadap Kebijakan Pembangunan Pertanian. Jember:
Kompyawisda.
B. Internet
Emenve , Muchlis. 2011. Sistem kekerabatan Jawa (Genealogis) , (http://lokajaya.blog.uns.ac.id/2011/02/14/sistem-kekerabatan-jawa-genealogis/), diakses pada 27 Desember 2012.
NN. 2010. Sistem
Kekerabatan, (http://memoforus.blogspot.com/2010/01/sistem-kekerabatan.html), diakses pada 27 Desember 2012.
NN. 2012. Gambaran Umum Mengenal Pulau Garam, (http://mengenalpulaugaram.blogspot.com/2012/09/gambaran-umum.html), diakses pada 27 Desember 2012.
Raharjo, Christanto P. 2010. Pendalungan sebuah priuk besar, (http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/04/pendalungan-sebuah-periuk-besar.html), diakses pada 27 Desember 2012.
Wikipedia Indonesia. 2012. Akulturasi, (http://id.wikipedia.org/wiki/Akulturasi), diakses pada 27 Desember 2012.
Wikipedia Indonesia. 2013. Amalgamasi, (http://id.wikipedia.org/wiki/Amalgamasi), diakses pada 04 Januari 2013.
Wikipedia Indonesia. 2012. Suku Jawa, (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa), diakses pada 27 Desember 2012.
Wikipedia Indonesia. 2012. Suku Madura, (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Madura), diakses pada 27 Desember 2012.
Wiyata, A. Latief. 2012. Interaksi Sosial Orang Madura di Rantau, (http://lontarmadura.com/interaksi-sosial-orang-madura-di-rantau/), diakses pada 27 Desember 2012.
DAFTAR INFORMAN
Nama :
Ani
Umur :
20 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Nama :
H. Sunawan
Umur :
-
Pekerjaan : Kamitua desa Gampingan
Nama :
Lutfia
Umur :
60 tahun
Pekerjaan : Kepala Sekolah RA
Nama :
Marni
Umur :
55 tahun
Pekerjaan : Petani
Nama :
Kaspin
Umur :
lebih muda dari bapak Martono
Status :
Sesepuh desa Gampingan
Nama :
Martiyah
Umur :
60 tahun
Pekerjaan : Petani
Nama :
Martono
Umur :
84 tahun
Status :
Sesepuh desa Gampingan
Nama :
Rofi’i Ikhwayadi
Umur :
-
Pekerjaan : Perangkat desa Gampingan
Nama :
Supartini
Umur :
32 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
[1]
Lihat buku Koentjaraingrat, Pengantar
Ilmu Antropologi (2009, hlm: 202)
[2] Muchlis Emenve, http://lokajaya.blog.uns.ac.id/2011/02/14/sistem-kekerabatan-jawa-genealogis/, sebuah blog tentang Hanggayuh Satriya Pinandhita.
[4]
Dalam buku A. Latief Wiyata, Carok:
konflik kekerasan dan harga diri orang Madura, (2002, hlm. 56-57).
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Madura, Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas. Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Suku_Madura&oldid=6162836.
[6] Diambil dari blog Lontar Madura (http://lontarmadura.com/interaksi-sosial-orang-madura-di-rantau/).
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa, Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas. Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Suku_Jawa&oldid=6277116.
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Akulturasi, Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas. Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Akulturasi&oldid=5823587.
[10]
Dalam buku Koentjaraningrat, Pengantar
Ilmu Antropologi. (revisi 2009, hlm. 206-207).
[12]
Dalam Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian karya Harsja W. bachtiar, buku
redaksi Koentjaraningrat, Metode-Metode
Penelitian Masyarakat, (1973, hlm
108-128)
[14] Christanto
P.Raharjo dalam artikel Pendalungan :
Sebuah `Periuk Besar' Masyarakat Multikultural, (http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/04/pendalungan-sebuah-periuk-besar.html).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar