Flash Banner

INVESTASI CUMA RP 10.000,-

Rabu, 06 Februari 2013

AMALGAMASI JAWA-MADURA: DWI TUNGGAL PENDHALUNGAN PADA MASYARAKAT DUSUN DEMPOK-GAMPINGAN DESA GAMPINGAN




MAKALAH PENELITIAN
Tugas mata kuliah Pengantar Antropologi
Yang dibina oleh Ibu Siti Zurinani, M.A.


Oleh
Susi Mardiyanti
125110800111021



PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI BUDAYA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Januari 2013
 
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Sejak dulu kala dalam sejarah kebudayaan manusia ada gerak migrasi, gerak perpindahan dari suku-suku bangsa dimuka bumi[1]. Dari gerak migrasi inilah akar terjadinya pertemuan-pertemuan antar kebudayaan yang berbeda. Yang menyebabkan timbulnya akulturasi dan asimilasi.
Dari banyak daerah yang ada di Indonesia ada beberapa daerah yang mempunyai adat bermigrasi atau merantau, diantaranya minangkabau dan madura. Bila di daerah minang budaya merantau diperuntukkan untuk para pemuda, lain halnya dengan daerah Madura yang semua lapisan masyarakatnya berpotensi untuk merantau karena dari segi ekologi dinilai tidak dapat mendukung untuk memenuhi hajat hidup, teori environmental possibilism.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa memang suku Madura tersebar di belahan Indonesia manapun. Tidak terkecuali desa pelosok atau pedalaman. Sehingga, sampailah suku Madura di desa gampingan kecamatan pagak kab. Malang Selatan. Suku Madura tersebut membangun sebuah kelompok ditengah suku asli disana, suku Jawa. Pertemuan dua budaya yang berbeda, yang akhirnya membentuk akulturasi budaya.
Perbandingan antara suku Jawa dan Madura adalah 1:4. Jadi, bisa dibayangkan bahwa yang mendominasi desa pagak adalah suku Madura. Suku Jawa menjadi suku minoritas. Perkawinan campuran tidak bisa dihindarkan, sehingga munculnya istilah pendhalungan sebagai bentuk keturunan yang dilahirkan dari percampuran etnis Jawa-Madura. Makalah ini akan mencoba mengungkap konsepsi tersebut yang bersumber dari informan, dan adakah kekhususan dalam sistem kekerabatannya. Analisis data  akan terurai secara ringkas dari data yang telah diperoleh melalui terjun lapangan singkat yang telah terselenggara pada saat inisiasi.
Di Indonesia terkenal dengan kepluralismeannya. Pluralisme masyarakat dan tentu budayanya. Itu yang sudah terjadi di desa pagak. Karena didiami dua suku yang berbeda dengan budaya yang sudah pasti berbeda pula.

B.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimana konsepsi pendhalungan pada masyarakat Jawa–Madura di dusun Dempok-Gampingan desa Gampingan, kecamatan Pagak, Malang Selatan?

C.   Kerangka Pemikiran

1.    Sistem kekerabatan Budaya Jawa
Menurut Kodiran dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1990: 337) Sistem kekerabatan orang jawa itu berdasarkan prinsip keturunan bilateral. The basic form of Javanese Terminological system is bilateral and generational (Geertz, 1961: 15). Jadi, untuk menarik garis keturunan, bisa melalui pihak perempuan maupun laki-laki. Namun dalam perkembangannya orang jawa tidak melulu menyebut kekerabatan mereka dari dua jalur ayah dan ibu. Seperti yang dinyatakan Muchlis Emenve dalam blonya[2]: Suku Jawa menganut garis keturunan ayah atau disebut Patrilini/ Patriakhat. Hal ini terlihat dari pemakain nama belakang seseorang sering memakai nama ayah, anak laki-laki juga menjadi kebanggaan keluaraga dan mendapatkan perhatian khusus dibanding anak perempuan karena diyakini seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, dalam hal warispun dikenal anak lanang sa pikul anak wadon sak gendongan, anak laki-laki lebih banyak bagiannya dalam pembagian warisan dari pada anak perempuan. Dikenal pula istilah lajer yaitu garis keturunan keluarga laki-laki saja.
Silsilah keturunan jawa: 1. Anak; 2. Putu; 3. Buyut; 4. Canggah; 5. Wareng; 6. Udheg- udheg; 7. Gantung siwur; 8. Gropak senthe; 9. Kandhang bubrah; 10. Debog bosok; 11. Galih asem. Dalam 7 turunan tersebut masih sapat disebut keluaraga dekat dan keturuanan 8 dan seterusnya merupakan keluarga jauh.

2.    Sistem kekerabatan Budaya Madura
Suku Madura dalam letak geografisnya masih termasuk kedalam pulau Jawa. Dengan demikian sistem kekerabatannya tidak akan jauh berbeda dengan sistem kekerabatan yang ada di suku Jawa. Seperti yang ada di buku Tata Krama Suku Bangsa Madura, menyebutkan bahwa suku Madura mengenal sistem kekerabatan yang di hitung melalui garis keturunan laki-laki maupum perempuan, yang disebut bilateral[3]. Kekerabatan bilateral, menghubungkan seseorang dengan lain-lain saudara dekat melalui laki-laki dan perempuan, orang menulusuri keturunannya melalui kedua orang tuanya sekaligusdan mengakui adanya banyak leluhur, Havilland (1993: 118).
Namun, dalam perkembangannya yang lebih mendominasi adalah pihak laki-laki, ayah. Ikatan kekerabatan orang Madura mencakup sampai empat generasi ke atas (ascending generations) dan ke bawah (descending generations) dari ego yaitu: 1. Garubuk; 2. Juju’/enju’; 3. Kae/Emba; 4. Eppa/Emma; 5. Ego/ana’; 6. Kompoy; 7. Peyo’; 8. Kareppek[4].
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Madura dikenal tiga kategori sanak keluarga atau kerabat (kinsmen), yaitu:
1. Taretan Dalem (kerabat inti atau core kin),
2. Taretan Semma’ (kerabat dekat atau close kin), dan
3. Taretan Jau (kerabat jauh atau peripheral kin).
Di luar ketiga kategori ini disebut sebagai oreng lowar (orang luar) atau "bukan saudara". Dalam kenyataannya, meskipun seseorang sudah dianggap sebagai oreng lowar tetapi bisa jadi hubungan persaudaraannya lebih akrab daripada kerabat inti, misalnya karena adanya ikatan perkawinan atau kin group endogami.

3.    Suku Madura
Suku Madura merupakan etnis dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya[5]. Suku Madura terkenal sebagai suku perantau, fakta ini dibuktikan dengan tersebarnya orang Madura di banyak tempat di Indonesia.
Menurut hasil sensus penduduk tahun 2000 nampak jelas bahwa orang Madura tersebar di 30 provinsi yang ada di Indonesia. Konsentrasi terbesar ada di wilayah Jawa Timur 6.281.058 jiwa, disusul Kalimantan Barat (203.612), Kalimantan Tengah (62.228), Kalimantan Timur (30.181), dan Kalimantan Selatan (36.334). Konsentrasi terkecil ada di wilayah provinsi Gorontalo (48). Sebaran penduduk etnis Madura pada tahun 2000 baik yang ada di pulau Madura, di provinsi Jawa Timur dan di wilayah Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut[6].

Tabel Jumlah Penduduk Madura 1930-2000

Kabupaten
1930
1961
1990
2000
Bangkalan
-
574.348
750.780
805.048
Sampang
-
484.886
703.138
750.046
Pamekasan
-
396.413
628.308
689.225
Sumenep
-
694.547
933.746
985.981
Total
-
2.150.194
4.015.972
3.230.300
Etnis Madura di Jawa Timur
-
-
-
6.281.058
Etnis Madura seluruh Indonesia
4,3 juta
-
-
6.771.727
Sumber:
1). Data Penduduk Per Kabupaten diakses dari website http://jatim.bps.go.id/ pada tgl. 02 Agustus 2004. (Data diolah kembali).

2). Suryadinata et.al. Penduduk Indonesia Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politk. Jakarta: LP3ES. 2003.).


Harga diri, sangat penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata). Sifat yang seperti ini melahirkan tradisi carok pada masyarakat Madura. Masayarakat luar Madura mengenal orang Madura bersifat tempramental. Anggapan ini ada benarnya tapi tempramental disini tidak semuanya masih ada sesuai aturan. Dibalik sifat tempramental yang dikenal orang, orang Madura punya sifat yang hebat seperti hemat, pantang menyerah, gigih dalam berusaha. Hal ini banyak terlihat dari persebaran orang Madura yang hampir mendunia dan rata- rata mereka sukses di rantau. Kebiasaan orang Madura memang bukan mengutamakan makan mereka bisa makan dengan sangat sederhana asalkan bisa menabung untuk naik haji dan membeli rumah untuk ditinggalkan ke anak cucunya kelak[7].

4.    Suku Jawa
Suku Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara[8]. Menurut Ismani (1979: 357), orang Jawa dikatakan sopa, mudah mengalah tetapi sulit dipercaya.
Clifford Geertz, (1960) membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum santri, abangan dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan. Tetapi dewasa ini pendapat Geertz banyak ditentang karena ia mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Kategorisasi sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar, misalkan orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi seperti orang keturunan Arab, Tionghoa, dan India.

5.    Akulturasi
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri[9].
Menurut Koentjaraningrat (revisi 2009: 202), akulturasi merupakan suatu proses social yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Dengan demikian, dapat ditarik benang merah bahwa akulturasi terjadi karena dua budaya atau lebih yang berbeda bertemu dalam satu tempat, dengan open minded budaya itu akan merasuk kedalam budaya asli tanpa merubah budaya aslinya.
Dalam perkembangannya, akulturasi bisa menjadi peristiwa yang disengaja dengan berkembangnya orang-orang yang menjadi agent of acculturation. Sehingga dapat diketahui unsur-unsur kebudayaan macam apa yang masuk[10].

6.    Perkawinan Campuran
Menurut Hilman Hadikusuma (1977: 96), perkawinan campuran adalah perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita yang berbeda hukum adatnya yang dapat berakibat memperoleh atau kehilangan kewargaan adat yang bersangkutan.

7.    Amalgamasi
Amalgamasi adalah istilah kuno sekarang sebagian besar untuk perkawinan dan antar pembiakan dari etnik yang berbeda atau ras. Di dunia berbahasa Inggris, istilah ini digunakan dalam abad kedua puluh.[11] Dalam perjalanannya amalgamasi adalah perkawinan antar dua etnis yang berbeda, sehingga ada sebutan khusus untuk keturunannya. Namun, hal tersebut bukanlah sebuah dasar sehingga tidak diharus ada penyebutan khusus untuk hasil keturunan perkawinan mereka.
Yang berkaitan adalah proses pembudayaan budaya lain terhadap budaya sendiri, sehingga proses tersebut menyebabkan budaya baru lahir tanpa menghapus budaya asli mereka.

D.   Metode Penelitian
Penelitian yang kami lakukan adalah penelitian singkat dengan waktu tidak sampai 1 hari, hanya sekitar 4 jam mulai pukul 10.00 – 14.00 pada hari sabtu tanggal 8 Desember 2012 pada acara inisiasi. Dengan pembagian kelompok masing-masing 15 orang, dan peneliti termasuk kedalam kelompok organisasi sosial.
Metode yang kami gunakan bukan wawancara mendalam, namun wawancara kepada informan kunci seperti perangkat desa, sesepuh desa dan warga setempat, serta pengamatan terhadap pola tingkah laku masyarakat.
Sebagaimana yang diungkapkan Harsja W. Bachtiar (1973: 109) bahwa pengamatan merupakan metode yang pertama-tama digunakan dalam melakukan penelitian ilmiah. Berbeda dengan pengamatan sebagaimana dilakukan dalam pergaulan sehari-hari, pengamatan sebagai ciri penelitian menuntut dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang merupakan jaminan bahwa hasil pengamatan memang sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran perhatian[12]. Dari gejala yang tampak ter wujud, maupun fakta yang menggambarkan tidak berarti banyak, bilamana tidak ditafsirkan artinya. Tafsirannya tergantung pada kerangka pemikiran yang berakar pada pola-pola kebudayaan yang menjadi akal pemikiran peneliti.
 Data yang akan peneliti sajikan mungkin berupa data yang ada dipermukaan. Karena terbatasnya ruang dalam dimensi waktu yang minim sekali, sehingga tidak terjadi wawancara intensif kepada informan. Dari data-data yang terkumpul peneliti berusaha sehingga dapat merangkainya menjadi mozaik sederhana yang indah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Selayang Pandang Desa Gampingan
Desa Gampingan adalah salah satu dari beberapa desa yang ada di kecamatan Pagak, kabupaten Malang Selatan. Desa ini berada tepat di bawah kawasan wisata Lembah Kerah yang di kenal sebagai bumi perkemahan dan tempat panjat tebing bagi para wisata touring. Desa ini terdiri dari tiga dusun, yaitu dusun Gampingan di RW 01, dusun Dempok di RW 02, dan dusun Bumi rejo di RW 03.
Desa ini bukan termasuk pemukiman pelosok, karena terlihat dari arsitek bangunannya yang sudah menggunakan batu-bata dengan pondasi rumah yang cukup tinggi dari jalan, disertai warna tembok yang mencolok. Keramik dengan berbagai ormanen juga turut memeriahkan tembok-tembok rumah warga.
Desa ini mempunyai fasilitas umum seperti tempat mandi umum berupa kolam, yang digunakan oleh warga setempat untuk mandi dan mencuci dan WC umum yang cukup unik karena airnya yang langsung diambil dari parit kecil dengan menggunakan gelas aqua kecil, yang notabene airnya langsung dari sumber. Namun, hal tersebut bukanlah hal yang lumrah untuk masyarakat pada umumnya. Sebagai pendatang rasa menghargai adalah yang terdepan, bukan mencela atau membandingkan. Suatu keunikan bukan hal yang mudah untuk didapatkan.
Menurut cerita sesepuh orang-orang yang tinggal di desa ini, dahulu yang pertama kali menempati desa ini adalah suku Madura istilah ini dikenal dengan mbabat alas. Jadi lumrah saja bila jumlah suku Madura lebih banyak dari pada suku Jawa.

B.     Perbandingan Jawa-Madura di dusun Dempok
Dengan keterbatasan data yang kami peroleh, sehingga yang dapat menjelaskan bagaimana perbandingan Jawa-Madura hanya ada di dusun Dempok.
 Menurut penuturan seorang perangkat desa Gampingan Bapak Rofi’i Ikhwayadi bahwa penduduk di dusun Dempok didominasi suku Madura dengan prosentase 80% untuk suku Madura dan 20% untuk suku Jawa. Pernyataan tersebut kurang di sertai data kongkret.
Namun, menilik informasi yang disampaikan oleh Bapak H. Sunawan yaitu seorang Kamitullah di desa Gampingan, sehingga pernyataan diatas tidak dapat dibantah.

“Di dusun Dempok terdiri dari 8 RT, mulai dari RT 11 sampai RT 18. Di RT 11 sampai RT 12 didominasi warga Madura, bila di RT 13 sampai RT 14 warganya campur antara keturunan Jawa dan Madura, sedangkan di RT 15 sampai RT 18 kebanyakan warga Madura”.

Dari data tersebut dapat dihitung bahwa ada 6 RT yang warganya orang Madura, sedangkan 2 RT sisanya adalah perkampungan orang Jawa-Madura. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa 6 RT yang penduduknya dikatakan warga Madura mempunyai saudara keturunan Jawa.
Dusun dempok ini terdiri dari 482 kepala keluarga yang setiap RT nya di huni sekitar 70 kepala keluarga. Namun jumlah keseluruhan warga dusun dempok dilihat dari data E-KTP adalah 1.286 orang tanpa ada pemisahan jumlah laki-laki dan perempuan.
Dari observasi pengamatan yang saya lakukan, memang di dusun Dempok ini banyak rumah yang cukup megah dengan warna yang menandakan adalah  rumah orang Madura karena mereka identik dengan pemilihan warna yang mencolok dan juga tabrak warna.
Penuturan seorang warga yang bernama Martiyah umur 60 th yang bekerja sebagai petani menyebutkan bahwa dusun ini terbagi menjadi dua bagian dengan sebuah pembatas sungai. Sebelah barat kali adalah suku Madura sedangkan yang disebelah timur kali didiami oleh suku Jawa. Para sesepuh etnis Madura sudah tidak ada, sehingga yang ada hanya keturunannya, para cucu dan seterusnya.

“Dusun ini terbagi menjadi 2 area, kulon kali dan wetan kali. Kulon kali ditempati Madura, wetan kali ditempati orang jawa. Namun sesepuh Madura sudah tidak ada, sekarang tinggal keturunannya”.

Sama halnya yang diungkapkan oleh ibu Supartini 32 th serang ibu rumah tangga, desa ini terbagi dua blog, daerah barat kali dan timur kali.
 Dengan demikian di dusun ini dimungkinkan masih ada wilayah kelompok keluarga batih orang Madura, dengan istilah pamengkang (tiga keluarga batih dalam satu perumahan), taneyan lanjang (lima keluarga batih), koren (empat keluarga batih) dan kampong meji (lebih dari lima keluarga batih)[13] dilihat dari bebepara RT yang didominasi orang Madura. Fenomena ini tampak nyata karena ada pengikat dari anggota keluarga luas ini yantu langgar yang ada disalah satu halaman rumah warga. Sehingga, kebudayaan Madura di tempat ini bisa terlestarikan sampai sekarang.
Namun dalam kehidupan keseharian perbedaan etnik ini sudah tidak menjadi pembeda, mereka sudah menjadi bagian dari suatu ekosistem dusun Dempok-Gampingan. Untuk pemakaian bahasa sehari-hari, warga Dempok-Gampingan tidak ada aturan khusus untuk memakai bahasa apa, yang ada adalah penyesuaian terhadap lawan bicara. Umumnya orang Madura mengerti yang dikatakan orang jawa dan sebaliknya, namun jarang pemakaian bahasa yang halus.

C.     Konsepsi Pendhalungan pada masyarakat dusun Dempok-Gampingan

Masyarakat yang ada diperkampungan ini cukup terbuka dengan perbedaan etnis. Tidak ada konflik besar diantara mereka, memang dahulu pernah namun sekarang potensi konflik sudah amat kecil. Ibu Marni umur 55 th seorang petani bertutur dalam bahasa jawa yang di bahasa indonesiakan,

“perbedaan etnis tidak penjadikan perpecahan, hampir tidak ada konflik. Semua warga membaur. Wujud kerukunan itu adalah selametan setiap jum’at legi dikuburan keramat, upacara minta hujan dan untuk minta izin hajatan”.

Dengan jangka waktu yang lama, percampuran kedua budaya itu semakin intim dengan adanya perkawinan yang menyatukan dua etnik yang tersebut, Jawa-Madura. Adat perkawinan yang diselenggarakan pada umumnya menggunakan adat Jawa, namun tidak terlepas dari sentuhan budaya Madura, yaitu iringan kesenian sakera. Perkawinan dua etnik yang melahirkan keturunan baru, dalam perkembangannya istilah ini disebut pendhalungan. Dalam arti keturunan, pendhalungan ini adalah orang yang dilahirkan dari keturunan Jawa-Madura, bapak Madura ibu Jawa atau sebaliknya. Salah satu penuturan warga keturunan Jawa-Madura, ibu Ani 20 th seorang ibu rumah tangga,

“saya ini mbak disebut orang Jawa bisa disebut orang Madura juga bisa, karena saya lahir dari ibu orang Jawa dan bapak saya orang Madura ”.

Dari informan lain juga menyebutkan demikian, namun hal tersebut diperjelas, Bapak Martono 84 th, seorang sesepuh Dusun Gampingan, beliau keturunan dari  bapak Madura dan ibu jawa.

“pendhalungan bukanlah suatu sistem kekerabatan suku Jawa-Madura, namun itu hanya sebuah sebutan/istilah bagi anak yang lahir dari keluarga yang berbeda Jawa-Madura ”.

Menurut beliau, tidak ada kekhususan untuk sistem kekerabatan pendhalungan. Untuk penyebutan anggota keluarga dari kedua keluarga juga tergantung pada keluarga tersebut, dan keturunan selanjutnya sudah mulai kabur tanpa ada kejelasan. Mungkin menurut mereka itu bukan suatu masalah bagi mereka.
Hal yang sama diungkapkan oleh Bapak Kaspin, seseorang sesepuh Dusun Gampingan, yang merupakan kerabat dekat pak Martono, beliau adalah sepupunya. Namun beliau ini bukan seoarang pendhalungan, beliau keturunan asli Jawa.
 Berbeda dengan informasi yang sebelumnya diungkapkan bahwa pendhalungan hanya sebuah istilah. Pendhalungan bukan hanya dalam lingkup keturunan Jawa-Madura saja, karena hubungan antar dua etnik ini tidak hanya terjadi didunia perkawinan saja, dalam kehidupan sehari-hari mereka berpadu dalam satu dimensional waktu. Ibu Marni 55 th seorang petani menuturkan,

“Pendhalungan adalah sebutan untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan Jawa-Madura, seperti gotong royong antar warga Jawa-Madura juga bisa disebut pendhalungan ”.

Memang dalam praktiknya, masyarakat awam seringkali mengatakan bahwa ketika orang Jawa bercampur dan berinteraksi dengan orang Madura maka lahirlah Pendhalungan[14]. Beberapa pakar sepertinya banyak yang menggunakan pemaknaan seperti itu. Harry Yuswadi (2005) memberikan definisi sederhana tentang Pendhalungan sebagai (1) sebuah percampuran antara budaya Jawa dan Madura dan (b) masyarakat Madura yang lahir di wilayah Jawa dan beradaptasi dengan budaya Jawa.'
Memang ketika membicarakan Pendhalungan, citra yang lebih banyak muncul adalah perpaduan antara dua tradisi besar, Jawa dan Madura. Pendapat tersebut tentu tidak lepas dari fakta bahwa kedua etnis tersebut merupakan warga mayoritas di wilayah ini.
Pendhalungan bukanlah termasuk suatu sistem kekerabatan yang khusus untuk keturunan Jawa-Madura. Untuk sebutan sistem kekerabatan Jawa-Madura, sampai saat ini tidak ada yang bisa dijadikan standart. Mungkin hanya penyebutan untuk anggota keluarga mereka yang menurut kesepakatan bersama, bila keluarga ayah dari keluarga Madura dapat dipastikan sebutan-sebutan untuk memanggil saudara yang lain dari garis ayah memakai dalam bahasa Madura, dan juga bisa sebaliknya.
Seperti yang dialami oleh ibu Lutfia 69 th seorang kepala sekolah RA, beliau orang jawa yang menikah dengan orang Madura, untuk sebutan-sebutan saudaranya keluarga beliau memakai bahasa Madura, seperti paman dipanggil guthek, pakde dipanggil mbah, bungsu dipanggil bungso, dan seterusnya.
Fenomena pendhalungan ini termasuk dalam amalgamasi, karena sifat budaya pendhalungan ini lahir dari dua etnis yang berbeda, sesuai dengan pengertian amalgamasi, yaitu suatu kebudayaan yang lahir karena perkaawinan campuran dari dua etnis yang berbeda. Bila dahulu tidak ada pertemuan antar etnik Jawa-Madura, sampai saat ini tidak mungkin ada istilah pendhalungan.
Dengan demikian ada dua hal yang dapat diambil dari arti pendhalungan, karena kita tidak bisa menghakimi salah satu dari informasi yang kita anggap salah. Informan masing-masing mempunyai pendapat sendiri yang didapat dari pengetahuan dan pengalamannya. Pendhalungan dalam arti sempit adalah istilah untuk hasil keturunan Jawa-Madura. Sedangka dalam arti luasnya pendhalungan adalah pertemuan dua budaya Jawa-Madura dalam segala aspek kehidupan.



BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Masyarakat dusun Dempok-Gampingan desa Gampingan, Malang selatan adalah masyarakat terdiri dari dua etnik yang berbeda: Jawa dan Madura. Yang lebih dominan adalah suku Madura daripada suku Jawa, namun untuk menjumpai sesepuh dari etnik Madura sudah jarang sekali, yang ada hanya keturunan mereka. Mereka berbaur dalam satu tempat. Wujud kerukunan mereka adalah selamatan setiap malam jum’at legi di makam keramat untuk menghormati dan mendoakan roh-roh leluhur.
Pertemuan dua etnis ini memunculkan akulturasi budaya, budaya jawa berkembang pada masyarakat Madura dan budaya Madura berkembang pada  masyarakat Jawa, misalnya acara perkawinan, umumnya warga Dempok memakai adat perkawinan Jawa, namun tidak terlepas dari budaya Madura, yaitu iringan kesenian Sakera mewarnai adat upacara perkawinan suku ini, selain itu juga amalgamasi, karena ada budaya yang dilahirkan perkawinan campuran Jawa-Madura. Untuk menyebut budaya yang lahir dari perkkawinan campuran tersebut ada suatu sebutan: pendhalungan. Namun, ada 2 hal pengartian yang berbeda yaitu secara luas dan sempit. Pendhalungan dalam arti luas adalah segala hal bentuk hubungan yang terjadi antara budaya Jawa-Madura. Sedangkan dalam arti sempitnya pendhalungan adalah istilah untuk hasil keturunan budaya Jawa-Madura.
Bila hipotesa awal kami mengasumsikan bahwa terdapat kekhususan pada sistem kekerabatan karena lahirnya budaya pendhalungan, ternyata hal tersebut bukanlah suatu keunikan yang luar biasa, karena pendhalungan hanya sebuah istilah semata. Dalam hal penyebutan anggota kekuarga juga tidak ada kekhususan yang ada hanya menyesuaikannya dengan keluarga mereka, mereka sama sekali tidak mempermasalahkannya.
DAFTAR PUSTAKA

A.   Buku
Bachtiar, Harsja W. 1973. Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian. Dalam Koentjaraningrat (Red), Metode-Metode Penelitian Masyarakat (hlm. 108-128). Jakarta: PT Gramedia
Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Tata Krama Suku Bangsa Madura. Yogyakarta: Depdikbud.
Geertz, Clifford.1960. The religion of Java. Glencoe : The Free press of Glencoe.
Geertz, Hildred. 1961. The Javanese Khinship: A study of Kinship and Socialization. New York. Crowell-Collier Publishing Company.
Hadikusuma, Hilman. 1977. Hukum Perkawinan Adat. Tanjungkarang: PT Citra Aditya Bakti.
Havilland, W. A. 1985. Antropologi Jilid 2. Terjemahan oleh R. G. Sukadijo. 1993. Jakarta: Erlangga.
Ismani. 1979. Aspek-aspek kehidupan Orang Madura di kota-kota perantauan. Dalam Depdikbud, Madura III: Kumpulan makalah-makalah seminar 1979. Malang: Depdikbud.
Kodiran. 1990. Kebudayaan Jawa. Dalam Koentjaraningrat (Red), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (hlm. 329-352). Jakarta: Djambatan.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropplogi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Wiyata, A. Latief. 2002. Carok: Konflik kekerasan dan Harga diri Orang Madura. Yogyakarta: Lkis.
Yuswadi, Harry. 2005. Melawan Demi Kesejahteraan, Perlawanan Petani Jeruk terhadap Kebijakan Pembangunan Pertanian. Jember: Kompyawisda.

B.   Internet

Emenve , Muchlis. 2011. Sistem kekerabatan Jawa (Genealogis) , (http://lokajaya.blog.uns.ac.id/2011/02/14/sistem-kekerabatan-jawa-genealogis/), diakses pada 27 Desember 2012.
NN. 2012. Gambaran Umum Mengenal Pulau Garam, (http://mengenalpulaugaram.blogspot.com/2012/09/gambaran-umum.html), diakses pada 27 Desember 2012.
Raharjo, Christanto P. 2010. Pendalungan sebuah priuk besar, (http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/04/pendalungan-sebuah-periuk-besar.html), diakses pada 27 Desember 2012.
Wikipedia Indonesia. 2012. Akulturasi, (http://id.wikipedia.org/wiki/Akulturasi), diakses pada 27 Desember 2012.
Wikipedia Indonesia. 2013. Amalgamasi, (http://id.wikipedia.org/wiki/Amalgamasi), diakses pada 04 Januari 2013.
Wikipedia Indonesia. 2012. Suku Jawa, (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa), diakses pada 27 Desember 2012.
Wikipedia Indonesia. 2012. Suku Madura, (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Madura), diakses pada 27 Desember 2012.
Wiyata, A. Latief. 2012. Interaksi Sosial Orang Madura di Rantau,  (http://lontarmadura.com/interaksi-sosial-orang-madura-di-rantau/), diakses pada 27 Desember 2012.


DAFTAR INFORMAN

Nama              : Ani
Umur               : 20 tahun
Pekerjaan        : Ibu Rumah Tangga

Nama              : H. Sunawan
Umur               : -
Pekerjaan        : Kamitua desa Gampingan

Nama              : Lutfia
Umur               : 60 tahun
Pekerjaan        : Kepala Sekolah RA

Nama              : Marni
Umur               : 55 tahun
Pekerjaan        : Petani

Nama              : Kaspin
Umur               : lebih muda dari bapak Martono
Status              : Sesepuh desa Gampingan

Nama              : Martiyah
Umur               : 60 tahun
Pekerjaan        : Petani

Nama              : Martono
Umur               : 84 tahun
Status              : Sesepuh desa Gampingan

Nama              : Rofi’i Ikhwayadi
Umur               : -
Pekerjaan        : Perangkat desa Gampingan

Nama              : Supartini
Umur               : 32 tahun
Pekerjaan        : Ibu Rumah Tangga











[1] Lihat buku Koentjaraingrat, Pengantar Ilmu Antropologi (2009, hlm: 202)
[2] Muchlis Emenve, http://lokajaya.blog.uns.ac.id/2011/02/14/sistem-kekerabatan-jawa-genealogis/, sebuah blog tentang Hanggayuh Satriya Pinandhita.
[3] Dalam buku Depdikbud, Tata Krama Suku Bangsa Madura. (2002, hlm. 15).
[4] Dalam buku A. Latief Wiyata, Carok: konflik kekerasan dan harga diri orang Madura, (2002, hlm. 56-57).
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa, Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Suku_Jawa&oldid=6277116.
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Akulturasi, Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Akulturasi&oldid=5823587.
[10] Dalam buku Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. (revisi 2009, hlm. 206-207).
[11] http://id.wikipedia.org/wiki/Amalgamasi, Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.
[12] Dalam Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian karya Harsja W. bachtiar, buku redaksi Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat,  (1973, hlm 108-128)
[13] Dalam buku Depdikbud, Tata Krama Suku Bangsa Madura. (2002, hlm. 16-17).
[14] Christanto P.Raharjo dalam artikel Pendalungan : Sebuah `Periuk Besar' Masyarakat Multikultural, (http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/04/pendalungan-sebuah-periuk-besar.html).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar